Diagnosis terhadap Penyakit Umat

Posted on Updated on

Diagnosis

Syaikh Abd al-’Aziz bin Rais alu Rais dalam risalah beliau Muhimmat fi al-Jihad berkata,

Saudaraku, sesungguhnya kelemahan umat kita dan penguasaan musuh atas diri kita merupakan musibah dan bencana besar yang wajib untuk kita hilangkan. Dan hal tersebut tidak mungkin bisa dilakukan melainkan dengan melakukan diagnosa yang  teliti (terhadap penyakit umat ini) terlebih dahulu, guna menghindari kerancuan dalam mendiagnosis antara penyakit dan obat.

Sungguh betapa banyak orang yang keliru dalam membedakan antara penyakit dan obat dikarenakan menganggap penyakit sebagai obat dan penyembuh.

Sebagian kalangan menyangka bahwa penyakit umat ini dikarenakan makar dan penguasaan para musuh terhadap umat Islam. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa obat untuk menghilangkan penyakit itu adalah dengan menyibukkan kaum muslimin dengan memperhatikan kondisi musuh-musuh Islam, perkataan dan pengakuan mereka.

Kalangan kedua menyangka bahwa penyakit yang sebenarnya adalah berkuasanya para penguasa yang dzhalim di sebagian negeri-negeri Islam. Sehingga mereka menyimpulkan bahwa obat bagi umat ini adalah menggulingkan para penguasa tersebut serta menyeru umat untuk senantiasa menentang mereka.

Kalangan ketiga berpendapat bahwa penyakit umat ini adalah perpecahan yang terjadi di antara kaum muslimin, sehingga untuk mengobatinya perlu adanya pengumpulan dan penyatuan barisan agar jumlah mereka bertambah besar.

Seluruh pendapat yang dikemukakan oleh berbagai kalangan tersebut keliru dalam menentukan penyakit yang tengah diderita umat ini sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur-an dan sunnah. Tentunya diagnosis yang keliru tadi berujung pada kekeliruan dalam menentukan obat.

Pendapat kalangan pertama keliru karena seandainya kita bertakwa kepada Allah, maka seluruh makar musuh tidak akan membahayakan kita. Allah ta’ala berfirman,

وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا

Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.” (QS. Ali Imran: 120).

Sisi kekeliruan kalangan kedua, bahwa para penguasa yang dzhalim merupakan hukuman yang ditimpakan Allah bagi kaum yang dzhalim pula, dikarenakan dosa-dosa yang mereka lakukan. Allah ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Dan  demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al An’aam: 129).

Oleh karena itu, berkuasanya penguasa yang dzhalim bukanlah penyakit riil dari umat ini, bahkan penyakit yang riil berasal dari rakyat yang berada di bawah kekuasaan penguasa tersebut.

Ibnul Qayyim berkata, “Perhatikanlah hikmah-Nya tatkala Dia menjadikan para raja, penguasa dan pemegang tampuk pemerintahan sesuai dengan amalan yang dilakukan oleh para rakyat di dalam negeri tersebut. Bahkan, amalan dari para rakyat akan tercermin dari tingkah laku para penguasanya.

  • Apabila rakyat di dalam negeri tersebut komitmen dalam menjalankan syari’at, maka tentu penguasanya pun demikian.
  • Apabila mereka berlaku adil, maka para penguasa akan berlaku adil kepada mereka.
  • Apabila mereka suka berbuat kemaksiatan, maka para penguasa juga akan senantiasa berbuat maksiat.
  • Apabila rakyat senantiasa berbuat makar dan tipu daya, maka tentulah penguasa demikian pula keadaannya.
  • Apabila para rakyat tidak menunaikan hak-hak Allah serta mengabaikannya, maka penguasa mereka pun juga akan berbuat hal yang sama, mereka akan melanggar dan tidak menunaikan hak-hak para rakyatnya.
  • Apabila rakyat sering melanggar hak kaum yang lemah dalam berbagai interaksi mereka, maka para penguasa akan melanggar hak para rakyatnya secara paksa, menetapkan berbagai pajak dan pungutan liar kepada mereka. Dan setiap mereka (yakni rakyat) mengambil hak kaum yang lemah, maka hak mereka pun akan diambil secara paksa oleh para penguasa. Sehingga para penguasa merupakan cerminan amal dari para rakyatnya.

Demikianlah hikmah ilahi (yang senantiasa berlaku), suatu kaum yang buruk dan senantiasa berbuat kedurhakaan akan dipimpin oleh para penguasa yang sejenis dengan mereka.

Tatkala generasi awal dari umat ini merupakan generasi yang terbaik, maka kondisi para penguasanya pun tidak jauh berbeda. Maka tatkala kaum muslimin melakukan pengkhianatan, maka para penguasa pun berkhianat terhadap mereka. Sehingga hikmah Allah enggan, jika pada zaman ini diri kita dipimpin oleh penguasa sekaliber Mu’awiyah dan Umar bin Abdul ‘Aziz, apalagi yang sekaliber Abu Bakr dan Umar, namun kondisi para penguasa kita sesuai dengan dengan kondisi yang ada pada diri kita dan penguasa generasi terdahulu sesuai dengan kondisi rakyatnya, keduanya merupakan sebab dan kandungan dari hikmah ilahi (Miftah Daar as-Sa’adah 2/177-178).

Sisi kekeliruan kalangan ketiga, (kuantitas yang banyak bukanlah tolok ukur suatu keberhasilan), karena sesungguhnya kuantitas yang besar serta penyatuan barisan tidak akan berguna jika dibarengi dengan maksiat sebagaimana firman Allah ta’alaa ,

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ

Dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), Maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun.” (QS. At Taubah: 25).

Tidakkah anda melihat bahwa dosa ujub (congkak) telah mencerai-beraikan kuantitas kaum muslimin yang besar sehingga para sahabat kalah di hari Hunain?

Bahkan penyatuan barisan bersama ahli bid’ah seperti kaum sufi, Asya’irah dan Mu’tazilah termasuk dosa, karena kewajiban kita adalah mengingkari kesesatan mereka, dan selemah-lemah pengingkaran dalam hati adalah menghindari mereka bukan malah duduk bersama mereka. Allah ta’alaa  berfirman,

إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ

Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An Nisaa’: 140).

Berangkat dari sini, anda tentu akan mengetahui kekeliruan slogan yang senantiasa didengungkan oleh pendiri jama’ah Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna, ketika beliau mengatakan, “Kita saling bahu-membahu dalam perkara yang kita sepakati dan kita saling toleran dalam perkara yang kita perselisihkan.”

Slogan ini merupakan asas yang menjadi pondasi berdirinya jama’ah ini. Oleh karena itu, anda akan melihat Hasan Al Banna beserta pengikut beliau menerapkan slogan ini bersama-sama kelompok Rafidhah, sufi dan ahli bid’ah lainnya.

Setelah hal ini, mungkin saja ada yang berkata, “Anda telah menjelaskan berbagai kekeliruan dalam mendiagnosa penyakit yang tengah diderita umat ini, maka apakah penyakit yang tengah diderita umat ini berdasarkan diagnosis yang tepat dan berdasarkan Al Qur-an dan sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih?”

Jawabnya: Banyak ayat Al Qur-an dan hadits nabi yang menerangkan bahwa seluruh musibah yang ditimpakan kepada hamba, tidak lain disebabkan oleh dosa-dosa yang mereka perbuat. Allah ta’alaa   berfirman,

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 165).

Sesungguhnya penyakit yang diderita oleh umat ini adalah kelalaian kaum muslimin dalam menjalankan agama dan penentangan mereka terhadap syari’at nabi mereka.

Penyembuh  dan obat bagi penyakit tersebut adalah mengembalikan umat muslim kepada ajaran agama yang benar, sedangkan akibat dari penyakit tersebut adalah  kemenangan kaum kafir, berkuasanya kaum kafir dan para penguasa yang dzhalim di sebagian negara Islam.

Tidakkah anda melihat bagaimana kesyirikan telah menabuh genderangnya dan mengangkat tinggi-tinggi benderanya di sebagian besar wilayah Islam? Dan tidakkah anda juga melihat bagaimana tauhid diperangi di seluruh wilayah Islam selain negara Arab Saudi yang penuh berkah ini-semoga Allah meneguhkannya dengan keimanan-. Anak-anak di negara ini terdidik di atas tauhid yang diajarkan di berbagai sekolah dan masjid-semoga Allah membalas para penguasa dan ulama negeri ini dengan kebaikan-.

Jika kondisi perikehidupan masyarakat Islam demikian adanya, dimana mereka berbuat kedurhakaan yang terbesar  terhadap Allah (yaitu syirik akbar), maka bagaimana bisa kita memperoleh pertolongan dan kemuliaan dari Allah?

Betapa mencengangkan tatkala berbagai kemaksiatan dan syahwat bercokol di sebagian besar wilayah Islam. Apabila kita jujur dan sayang terhadap umat kita, maka janganlah sibuk dengan berbagai urusan dunia dan lupa terhadap pengobatan umat ini, yaitu mengembalikan mereka kepada ajaran agama yang benar.

Saya memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepada kita untuk menempuh jalan yang lurus dan menyejukkan pandangan kita dengan kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Tinggalkan komentar