Menjawab Syubhat-Syubhat Perayaan Maulid Nabi

Posted on

cinta-rasul-dengan-ittiba
cinta-rasul-dengan-ittiba

Judul Asli: Menjawab Syubhat-Syubhat Perayaan Maulid Nabi
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah

Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa ahlul bid’ah senantiasa ‘berjuang’ dengan penuh kegigihan membela dan mengibarkan bendera bid’ah, sehingga bid’ah menyebar di mana-mana. Jangan heran bila mereka begitu berani memaksakan dalil demi hawa nafsunya atau menasabkan hadits yang tidak ada asalnya.

Bagaimana sikap kita dalam menghadapi syubhat mereka?!

Pertama: Bertanya Tentang Dalilnya
Syaikh Abdurrohman bin Yahya al-Mu’allimi berkata: “Tidak ada perselisihan pendapat bahwa agama yang benar (Islam) adalah yang datang dari Allah dan disampaikan oleh Rasulullah. Maka kita tanyakan kepada ahli bid’ah: Apakah amalan ini termasuk agama yang disampaikan oleh Muhammad dari Robbnya ataukah tidak? Kalau dia menjawab: Ini bukan termasuk agama, maka selesai sudah masalahnya. Namun kalau menjawab: Ini termasuk masalah agama, maka kita katakan padanya: Datangkanlah dalilnya!! [1]

Kedua: Bertanya Tentang Pemahamannya
Kalau dia tidak mampu mendatangkan dalilnya maka selesailah sudah masalahnya, tetapi kalau dia mendatangkan dalilnya, maka tanyakan lagi padanya: Adakah para sahabat dan ulama salaf yang memahami dari ayat  atau hadits ini seperti pemahamanmu?! Karena sebagaimana kata Imam asy-Syathibi rahimahullah: “Betapa sering engkau  dapati ahli bid’ah dan penyesat umat mengemukakan dalil dari al-Qur’an dan hadits dengan memaksakannya agar sesuai dengan pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengannya. Lucunya mereka menganggap bahwa diri mereka diatas kebenaran.”

Lanjut beliau: “Oleh karenanya, maka semestinya bagi setiap orang yang berdalil dengan dalil syar’i agar memahaminya seperti pemahaman para pendahulu (sahabat) dan oraktik amaliah mereka, karena itulah jalan yang benar dan lurus.” [2]

Camkanlah baik-baik dua kaidah ini agar engkau mampu menghadang syubhat ahli bid’ah di sepanjang zaman. Demikian pulang tentang masalah perayaan maulid nabi ini, para pejuang dan pengibar bendera pelaku ini memiliki syubhat-syubhat yang banyak sekali, kami akan menyebutkan beberapa syubhat yang sangat masyhur saja berikut jawabannya. Semoga menjadi pelita dan tameng bagi kita semua.

Syubhat Pertama
Mereka mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memuliakan hari kelahirannya sebagaimana dalam hadits tentang puasa hari Senin, sabda beliau:
“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus atau diwahyukan kepadaku.” [3]

Hadits ini menujukkan kemulian hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berarti disyariatkan bagi kita untuk membuat perayaan sebagai ungkapan kegembiraan atas hari kelahirannya.

Jawaban:
Berdalil dengan hadits ini tidaklah tepat, ditinjau dari beberapa segi:
1. Apabila maksud dari maulid disini adalah mensyukuri atas nikmat kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka secara dalil dan akal hendaknya syukur tersebut diwujudkan sebagaimana syukurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu dengan berpuasa yang berarti bahwa hendaknya kita berpuasa sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa. Sehingga apabila kita ditanya maka kita menjawab bahwa hari Senin adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah azza wa jalla dan mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang disyariatkan.

2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengkhususkan pada hari  kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabi’ul Awal -sebagaimana pendapat yang masyhur- dengan puasa atau amalan lainnya. Beliua shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berpuasa pada hari Senin yang datang setiap pekan. Sedangkan Allah azza wa jalla berfirman:
“Sesunggunya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS.al-Ahzab/33 :21]

3. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari kelahirannya, apakah beliau menambahinya dengan perayaan maulid seperti yang dilakukan oleh orang-orang? Jawabnya, tentu tidak, cukup hanya dengan berpuasa. Jadi, mengapa umatnya tidak merasa cukup dengan petunjuk nabinya?!! Ingatlah bahwa ibadah itu harus dibangun di atas dalil bukan perasaan dan hawa nafsu!! [4]

4. Rasulullah tidak merayakan hari kelahiran beliau sewaktu beliau hidup, demikian juga para sahabat tidak merayakannya. Seandainya hal itu disyariatkan, niscaya mereka mendahului kita, karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi daripada kita. Mungkinkah mereka meninggalkan amalan kebajikan dan meremehkannya?!! Sekali-kali tidak.

5. Puasa hari Senin bukan hanya karena hari itu hari kelahiran Nabi, tetapi Nabi jugamenyebutkan alasan-alasan lainnya yaitu turunnya wahyu dan diangkatnya amalan kepada Allah. Lantas, kenapa hanya diambil satu alasan saja untuk sebuah syariat yang tidak diajarkan Allah dan Rasul-Nya?! [5]

Syubhat Kedua
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Madinah, dan beliau menjumpai Yahudi berpuasa pada hari Asyuro, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Hari apakah ini? Mereka menjawab: Ini adalah hari agung, hari Allah menyelamatkan Musa dan pengikutnya dan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Musa berpuasa sebagai ungkapan syukur, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kita lebih berhak dengan Musa daripada kalian, akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan untu berpuasa pada hari itu.” [6]

Mereka mengatakan bahwa kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja bergembira dengan diselamatkannya Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kita juga bergembira  dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan lebih utama.

Jawaban:
1. Sesunggunya seluruh umat islam mengetahui sunnahnya puasa Asyuro, sebagai wujud realisasi dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ungkapan syukur atau dimenangkannya kebenaran dan dihancurkannya kebathilan. Namun, bukan berarti hadits ini sebagai kaidah yang membenarkan perayaan maulid nabi atau perayaan-perayaan lainnya. Jadi anjuran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa Asyuro bukan berarti anjuran untuk menjadikannya sebagai perayaan maulid, tetapi anjuran untuk bersyukur kepada Allah azza wa jalla dengan berpuasa pada hari tersebut seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. [7]

2. Kita semua senang dan gembira dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diutusnya beliau sebagai nabi, hijrahnya beliau dan semua perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa jihad dan ilmu. Kita senang dan bergembira serta mengambil pelajaran darinya. Namun semua itu bukan hanya dalam sehair saja dalam setahun, akan tetapi disyariatkan pada setiap waktu dan setiap tempat.[8]

Syubhat Ketiga
“Berkata Urwah: Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab, Abu Lahab memerdekakannya dan menyusui Nabi. Tatkala Abu Lahab meninggal dunia, sebagian keluarganya melihat dalam mimpi bahwa Abu Lahab dalam keadaan yang jelek. Dia bertanya: Apa yang kau dapatkan? Abu Lahab menjawab: Saya tidak mendapatkan kebaikan setelah kalian, hanya saja saya diberi minum sedikit ini karena sebab memerdekakan Tsuwaibah.”

Jawaban:
1. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari: 4711 tetapi mursal[9], karena Urwah tidak menyebutkan siapa rowi setelahnya, [10] sedangkan hadits mursal termasuk kategori hadits lemah menurut mayoritas ahli hadits.

2. Ini adalah mimpi dan mimpi tidak bisa dijadikan hujjah dalam syariat [11], sekalipun dia ahli ibadah dan berilmu, kecuali mimpi para nabi karena mimpi mereka adalah haq.

3. Hadits ini memberikan pahala kepada orang kafir, padahal al-Qur’an  menegaskan bahwa orang kafir tidak diberi pahala dan amal perbuatannya sia-sia.

“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” [QS.al-Furqon/25: 23]

“Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Robb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslan amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.” [QS.al-Kahfi/18: 105][12]

4. Kegembiraan Abu Lahab dengan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah kegembiraan tabiat saja, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keponakannya, sedangkan kegembiraan tidaklah diberi pahala melainkan apabila untuk Allah azza wa jalla.

5. Abu Lahab tidak mengetahui kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu, buktinya setelah dia mengetahuinya maka dia memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya untuk dilakukan.[13]

Syubhat Keempat
Mereka berkata bahwa perayaan maulid telah dianggap baik oleh ulama dan kaum muslimin di berbagai negeri, maka perayaan ini sangat baik berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
“Sesuatu yang menurut kaum muslimin baik, maka hal itu baik di sisi Allah. Dan sesuatu yang di nilai buruk oleh kaum muslimin, maka buruk pula di sisi Allah.

Jawaban:
Sungguh termasuk keajaiban dunia, tatkala hadit ini dijadikan dalil oleh sebagian kalangan tentang adanya bid’ah hasanah dalam agama dengan alasan banyaknya orang yang melakukan. Namun perlu dicermati hal-hal berikut:
1. Hadits ini mauquf, sebagaimana dalam HR.Ahmad: 3600, ath-Thoyyalisi hal.23 dan Ibnul A’robi dalam Mu’jamnya: 2/84 dengan sanad hasan, sehingga tidak bisa dijadikan alasan untuk menentang dalil-dalil yang jelas menegaskan bahwa semua bid’ah adalah sesat sebagaimana telah shohih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

2. Anggaplah hadit tersebut shohih, namun tetep tidak bisa diterapkan karena menentang dalil-dalil yang shohih, karena: Pertama, Maksud Ibnu Mas’ud rahiyallahu ‘anhu dengan ‘kaum muslimin’ adalah kesepakatan  para sahabat. Hal ini diperkuat bahwa beliau berdalil dengannya dalam masalah kesepakatan sahabat untuk memilih Abu Bakar sebagai kholifah. Kedua, maksud ‘Muslimun’ dalam ucapan beliau bukan setiap muslim walaupun dia tidak memiliki ilmu sama sekali, tetapi maksudnya adalah orang-orang yang memiliki ilmu di antara mereka dan tidak takliq buta dalam agama.

Kesimpulannya, hadits ini tidak bisa dijadikan pegangan oleh ahli bid’ah, apalagi kalau kita ingat bahwa sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang dikenal keras memerangi bid’ah, di antara ucapan beliau: “Ikutilah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan janganlah kalian berbuat bid’ah, karena kalian telah diberi kecukupan.”

Maka wajib bagi kalian wahai kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan sunnah nabi kalian, niscaya kalian akan bahagia. [14]

Kemudian kami katakan: “Siapa di antara ulama dan muslim yang menganggap baik maulid ini? Apakah mereka sahabat Rasulullah? Tentu tidak! Apakah mereka para tabi’in? Tentu tidak! Apakah mereka para tabi’ut tabi’in? Tentu tidak! Apakah mereka ulama generasi utama? Juga tidak! Apakah mereka tokoh-tokoh Fathimiyyah Rofidhoh? Benar! Apakah mereka ahlul bid’ah? Ya, benar…

Kemudian siapakah ‘kaum muslimin’ yang dimaksud dalam atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut untuk menimbang kebaikan dan kejelekan? Apakah mereka orang Rofidhoh  dan thoriqot-thoriqot yang rusak akalnya sehingga baik dianggap jelek dan yang jelek di anggap baik? Maka datangkanlah kepada kami perkataan-perkataan dan perbuatan dari pada salaf, tabi’in, tabi’ut tabi’in, ahlu hadits ahlu fiqh dan lainnya yang mendukung perayaan maulid nabi ini..Sesungguhnya kami menunggu.” [15]

Kalau ada yang berkata: “Bukankah di antara yang diantara yang menganggap baik perayaan maulid nabi adalah sebagian ulama seperti as-Suyuthi, Ibnu Hajar, Abu Syamah dan lain sebagainya?!” Kami katakan: “Benar, memang mereka menganggap baik hal itu, tetapi hal itu ukan hujjah, semua ulama pasti ada ketergelincirannya, kita dituntut untuk mengikuti dalil, bukan mengikuti kesalahan ulama.” Hal ini telah diperingatkan secara keras oleh para ulama kita, di antaranya:
– Sulaiman at-Taimi rahimahullah mengatakan: “Apabila engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka telah berkumpul pada dirimu seluruh kejelekan.”
– Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkomentar: “Ini adalah ijma’, saya tidak mendapati perselisihan ulama tentangnya.” [16]
– Al-Auza’i rahimahullah berkata: “Barangsiapa memungut keganjilan-keganjilan ulama, maka dia akan keluar dari Islam.” [17]
– Hasan al Bashri rahimahullah berkata: “Sejelek-jelek hamba Allah adalah mereka yang memungut masalah-masalah ganjil untuk menipu para hamba Allah.” [18]
– Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Seorang tidaklah disebut alim bila dia menceritakan pendapat-pendapat yang ganjil.” [19]
– Imam Ahmad rahimahullah menegaskan bahwa orang yang mencari-cari pendapat ganjil adalah seorang yang fasiq.[20]

Bahkan Imam Ibnu Hazm rahimahullah menceritakan ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa orang yang mencari-cari keringanan mazhab tanpa bersandar pada dalil merupakan kefasikan dan tidak halal.[21]

Syubhat Kelima
Mereka mengatakan bahwa perayaan maulid nabi termasuk konsekuensi cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Jawaban:
1. Perkataan ini dusta, tidak berdasar dalil sedikitpun. Sebab maulid nabi tidak termasuk konsekuensi cinta terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan ketaatan, bukan dengan kemaksiatan dan kebid’ahan seperti halnya maulid nabi. [22]

2. Sesungguhnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi kaum muslimin adalah kewajiban setiap hari, bahkan setiapwaktu, bukan mengingat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya ketia perayaan maulid saja yang hilang dengan setelah usai perayaan tersebut, semua itu akan merusak lebih banyak daripada memperbaiki, sebab tidak ada suatu bid’ah pun kecuali akan mematian sunnah. [23]

3. Para sahabat adalah orang yang lebih cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita, lebih berilmu, lebih mengagungkan  Nabi, lebih bersemangat dalam kebaikan. Sekalipun demikian, mereka tidak merayakan maulid. Seandainya merayakan maulid termasuk konsekuensi cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu mereka adalah orang yang paling bersemangat melakukannya. [24]

Syubhat Keenam
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya perayaan maulid merupakan dakwah, amar nahi munkar dan syiar Islam. Tidak ragu lagi semua itu sangatlah dianjurkan, dan dalam perayaan ini terdapat amalan-amalan utama seperti pembacaan al-Qur’an, sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendengar siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan lain sebagainya.

Jawaban:
1. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berdakwah kepada Islam dengan perkataan, perbuatan dan jihad di jalan Allah azza wa jalla. Beliau orang yang paling mengerti tentang metode dakwah dan syiar Islam. Tetapi tidak ada petunjuk beliau dalam berdakwah dan syiar Islam dengan perayaan maulid dan Isro’ Mi’roj. Demikian pula para sahabat, mereka mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah, tetapi mereka tidak merayakan maulid atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau peringatan lainnya. Perayaan tersebut juga tidak dikenal bersumber dari imam-imam kaum muslimin yang muktabar, Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebaliknya perayaan  tersebut hanya dikenal dari ahli bid’ah seperti Rofidhoh, Syiah, dan kelompok-kelompok menyimpang yang sehaluan dengan mereka, yang sedikit ilmunya tentang agama. Kesimpulannya, perayaan diatas adalah bid’ah munkaroh, menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khulafa’-ur-Rosyidin dan imam-imam salafush shalih pada tiga generasi terbaik umat ini…”[25]

2. Amalan-amalan tersebut seperti membaca al-Qur’an, sholawat dan sebagainya tidak ragu termasuk amalan sholih apabila dikerjakan sesuai tuntunan, bukan karena niat maulid. Jadi, yang diingkari adalah mengkhususkan perkumpulan dengan cara dan waktu tertentu yang tidak ada dalilnya. [26]

Perhatikanlah atsar berikut: Dari Sa’id bin Musayyib, ia melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua roka’at, ia memanjangkan ruku’ dan sujudnya. Akhirnya Sa’id bin Musayyib pun melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan menyiksaku dengan sebab shalat?” Beliau menjawab: “TIdak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyelisihi as-Sunnah.” [27]

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah mengomentari atsar ini: “Ini adalah jawaban Sa’id bin Musayyib yang sangat indah. dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat, kemudian membantai ahlus sunnah dan menuduh bahwa mereka (ahlus sunnah) mengingkari dzikir dan shalat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan ahlu bid’ah dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dzikir, shalat dan lain-lain.” [28]

Syubhat Ketujuh
Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai perayaan, bisa jadi dilakukan oleh sebagian  manusia dan dia mendapatkan pahala yang besar karena niatnya yang baik dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Mereka mengatakan dengan nada mengejek: “Inilah Syaikhul Islamnya kaum Wahabi, dia sendiri membolehkan perayaan maulid dan mengatakan bahwa perayaan tersebut berpahala!!” Seperti dilakukan oleh pengelola blog sesat “Salafytobat” dalam artikel mereka Ibnu Taimiyyah Membungkam Wahhabi.

Jawaban:
1. Hendaknya diketahui oleh semua bahwa sikap Salafiyyun, Ahlus Sunnah terhadap Ibnu Taimiyyah rahimahullah sama halnya seperti sikap mereka terhadap para ulama lainnya, “Mereka tidak taklid terhadap seorang pun dalam beragama seperti halnya perbuatan ahli bid’ah, mereka tidak mendahulukan pendapat seorang ulama pun -sekalipun ilmunya tinggi- apabila memang telah jelas bagi mereka kebeneran, mereka melihat kepada ucapan bukan orang yang mengucapkan, kepada dalil bukan taklid, mereka selalu mengingat ucapan Imam Malik bin Anas rahimahullah: “Setiap orang dapat diterima dan ditolak pendapatnya kecuali penghuni kubur ini (Nabi Muhammad).” [30]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri berkata: “Adapun masalah keyakinan, maka tidaklah di ambil dariku atau orang yang lebih besar dariku, tetapi diambil dari Allah azza wa jalla, Rosul-Nya dan kesepatakan salaf umat ini, keyakinan dari al-Qur’an harus diyakini, demikian juga dari hadits-hadits yang shohih.” [31]

2. Memahami ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah di atas harus lengkap dari awal hingga akhir pembahasan, jangan hanya diambil sepenggal saja sehingga menjadikan kita salah faham.

Betapa banyak pencela ucapan yang benar
Sisi cacatnya adalah pemahaman yang dangkal
.” [32]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Kesalahan itu apabila karena jeleknya pemahaman pendengar bukan karena kecerobohan pengucap bukanlah termasuk dosa bagi pembicara, para ulama tidak mensyaratkan apabila mereka berbicara agat tidak ada seorangpun yang salah faham terhadap ucapan mereka, bahkan manusia senantiasa memahami salah ucapan orang lain tidak sesuai dengan keinginan mereka.” [33]

3. Bagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mendukung dan membolehkan perayaan maulid, sedangkan beliau sendiri yang mengatakan:
“Adapun menjadikan suatu perayaan selain perayaan-perayaan yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi’ul Awal yang disebut malam kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sebagian malam Rojab atau tanggal delapan Dzulhijjah atau awal Jum’at bulan Rojab atau delapan Syawwal yang disebut oleh orang-orang jahil sebagai ‘Id al Abror, semua itu termasuk bid’ah yang tidak dianjurkan oleh salafush shalih dan tidak mereka lakukan.” [34]

4. Maksud Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam ucapannya di atabukan berarti membolehkan perayaan maulid, tetapi hanya mengatakan bahwa bisa jadi orang yang merayakan maulid itu diberi pahala karena niatnya yang bagus yaitu mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baiklah agar kita memahami ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan bagus, kami akan nukilkan teksnya (afwan, teks bisa dilihat di Majalah al Furqon Edisi 7 Tahun Kesembilan. Shofar 1431, Jan-Feb 2010 Hal.48 atau antum bisa kunjungi link berikut –> Ibnu Taimiyyah dan Maulid Nabi – Menyingkap Kedustaan Salafytobat) berikut terjemahannya:
“Demikian pula apa yang diada-adakan oleh sebagian manusia, bisa jadi untuk menyerupai orang-orang nashoro dalam kelahiran Isa ‘alaihissalam dan bisa jadi karena cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  dan pengagungan kepada beliau. Dan Allah bisa jadi memberikan pahala kepada mereka karena sebab kecintaan dan semangat, bukan karena bid’ah menjadikan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai perayaan padahal ulama telah berselisih  tentang (tanggal) kelahirannya. Semua ini tidak pernah dikerjakan oleh generasi salaf radhiyallahu ‘anhum (Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in), karena seandainya hal itu baik tentu para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada kita. Karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka lebihh bersemangat dalam melaksanakan  kebaikan. Sesungguhnya cinta Rosul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti beliau, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara zhohir dan batin, menyebarkan ajarannya dan berjihad untuk itu semua, baik dengan hati, tangan ataupun lisan. Karena inilah jalan para generasi utama dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.” [35]

Ini adalah penjelasan gamblang dari Ibnu Taimiyyah rahimahullah bahwa pahala orang yang merayakan maulid karena niatnya yang baik yaitu cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan berarti bahwa maulid itu disyariatkan, sebab seandainya itu disyariatkan tentu akan dilakukan oleh para salaf yang lebih cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita. Beliau mengatakan: “Kebanyakan mereka yang bersemangat melakukan bid’ah-bid’ah seperti ini sekalipun niat dan tujuan mereka baik yang diharapkan dengan niatnya tersebut mereka diberi pahala, enagkau dapati mereka malas dalam menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka seperti seorang yang menghiasi mushaf tetapi tidak membacanya, atau membaca tapi tiak mengikuti isi kandungannya, atau tak ubahnya seperti orang yang menghiasa masjid tetapi tidak sholat didalamnya ata shalat tapi jarang. [36]

Dengan demikian, jelaslah bagi orang yang memiliki pandangan kesalahan orang yang menjadikan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah diatas untuk mendukung perayaan maulid nabi. [37]

Note:
[1] Risalah fi Tahqiqil Bid’ah hal.5-6
[2] Al-Muwafaqot Fi Ushul Syariah: 3/52
[3] HR.Muslim 1162
[4] Lihat Al-Inshof fima Qila fil Maulid: 44-45 oleh Syaikh Abu Bakar al-Jazairi
[5] Minhatul Allam 5/78-79 oleh Syaikh Abdullah al-Fauzan
[6] HR.al-Bukhari: 3648 dan Muslim: 1911
[7] Lihat Hiwar Ma’al Maliki hal.55-56, Abdullah al-Mani’
[8] Idem hal.85
[9] Definisi mursal yang populer di kalangan mayoritas ahli hadits adalah suatu hadits yang diriwayatkan dari tabi’in langsung kepada Rasulullah (lihat Jami’ Tahshil fi Ahkamil Marosil al-Ala’i hal.31)
[10] Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar: 9/145
[11] Lihat masalah ini secara panjang lebar dan keterangan para ulama tentangnya dalam al-Muqoddimat al-Mumahhidat as-Salafiyyat fi Tafsir Ru’aa wal Manamat hal.247-283 oleh Syaikh Masyhur bin Hasan dan Umar bin Ibrahim
[12] Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar: 9/145
[13] Al-Maurid fi Hukmil Ihtifal  bil Maulid hal.21-23, Aqil bin Muhammad al-Yamani. Lihat pula al-Qoulul Fashl Ismail al-Anshori hal.486-489
[14] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 533
[15] Lihat Hiwar ma’a Maliki hal.90-91 oleh Syaikh Abdulloh bin Sulaiman al-Mani’
[16] Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi: 2/91-92
[17] Sunan Kubro al-Baihaqi: 10/211
[18] Adab Syar’iyyah: 2/77
[19] Hilyatul Auliya Abu Nu’aim: 9/4
[20] Al-Inshof, al-Mardhawi: 29/350
[21] Marotibul Ijma’ hal.175 dan dinukil asy-Syathibi dalam al-Muwafaqot: 4/134
[22] Shiyanatul Insan ‘an Waswasati Syaikh Dahlan hal.228 oleh Syaikh Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi. Lihat pula asy-Syifa bi Ta’rif Huquqil Musthofa 2/16 oleh al-Qodhi Iyadh
[23] Syarh Mumti’, Ibnu Utsaimin: 5/112-113
[24] Fatawa Muhammad bin Ibrahim: 3/51, ar-Roddul Qowi, at-Tuwaijiri hal.171
[25] Fatawa Lajnah Da’imah: 3/14-15
[26] at-Tabarruk, Dr.Nashir al-Judai’ hal.372
[27] Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam Sunan Kubro: 2/46 dan dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ul Gholil: 2/236
[28] Irwa’ul Gholil: 2/236
[29] Iqtidho’ Shirathil Mustaqim 2/126
[30] Ahkamul Jana’iz hal.222 oleh al-Albani
[31] Majmu’ Fatawa: 3/157
[32] Diwan al-Mutanabbi hal.232
[33] Al-Istighosah fir Roddi ‘ala al-Bakri: 2/705
[34] Al-Fatawa Al-Kubro: 4/414
[35] Iqtidho’ Shirotil Mustaqim: 2/123-124
[36] Idem: 2/124
[37] Lihat Hukmul Ihtifal bil Maulid Nabawi war Ruddi ‘ala Man Ajazahu, Muhammad bin Ibrahim hal.46-50 dan al-Qolulul Fashl, Ismail al-Anshori hal.513-517

sumber: diketik ulang dari Majalah al-Furqon Edisi 7, Tahun Kesembilan, Shofar 1431, Jan-Feb 2010 Hal.43-49

Semoga bermanfaat bagi kami dan juga kaum muslimin. Barakallahu fiikum.

Sumber : http://alqiyamah.wordpress.com/

14 respons untuk ‘Menjawab Syubhat-Syubhat Perayaan Maulid Nabi

    Umar said:
    Februari 18, 2012 pukul 6:36 am

    Mantap Gan….. Hanya saja Imam Syaitibi yang anda pakai hujjahnya tidak termasuk ulama mu’tabar bro…. hanya antum dan grup salafy antum yang menggunakan hujjah dan pemahaman imam syaitibi yang tidak mu’tabar tersebut…

    ???

      Iwan Permana said:
      Maret 3, 2012 pukul 7:23 am

      Ga masalah mereka mengatakan tidak mu’tabar.. padahal para pecinta maulid mengikuti orang yg tdk dikenal keilmuwannya dan bukan ulama …. kan aneh?

    rilvan said:
    Februari 20, 2012 pukul 2:39 pm

    Ditegaskan oleh Allah SWT : “Kul inkuntum tuhibbunaalah yuhbibkumullah”.
    apa syaratnya Ittiba’ul habib muhammad.

    Al Habib Thohir bin Abdullah Alkaf dari tegal berkata “Tidak ada suatu perjuangan, tidak ada suatu ibadah, tidak ada suatu amalan yg di Ridhoi oleh Allah SWT tanpa didasari rasa cinta kepada Nabi Muhammad SAW. Dusta siapapun manusianya. Silahkan berbicara tentang islam, silahkan membawakan segala macam argumentasi, silahkan nampak bahwa dialah orang yang agamis, tapi kalau kosong kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW Demi Allah Ragukan apa yang dia katakannya”.

    Barakallahu fiik. Terima kasih atas komentarnya akhi… Benar adanya, bahwa siapapun yang mengerjakan ibadah yang diperintahkan oleh Allah tanpa di dasari cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sia-sia amalan orang itu, sebagaimana kaum munafik dahulu mereka melakukan shalat, puasa bahkan jihad, tapi hati mereka tidak diisi dengan keimanan, mereka benci kepada Nabi dan tidak mencintai beliau, maka jadilah kaum munafik itu termasuk orang-orang yang binasa. Ini dari satu sisi.

    Tapi, kita juga harus melihat dari sisi yang lain. Banyak orang yang melakukan amalan-amalan yang mereka pandang baik dengan alasan untuk mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi bila kita lihat lebih jauh tentang amalan-amalan tersebut ternyata tidak terdapat dalil-dalil yang shahih yang menjelaskan bahwa amalan tersebut termasuk yang dicintai oleh Allah dan RasulNya. Maka orang-orang yang semacam inipun termasuk orang yang sia-sia amalnya, meskipun tidak seperah orang yang pertama.

    Maka seorang muslim yang benar-benar ingin menunjukkan kecintaannya kepada Allah dan RasulNya haruslah dia mengumpulkan dua perkara dalam setiap amalnya,
    – hendaknya ia melandasi amal itu dengan keikhlasan untuk meraih keridhaan dan kecintaan Allah semata dan dia tidak menyertakan dalam tujuan ibadah tersebut siapapun selain Allah.
    – hendaknya ia melaksanakan amalan yang telah shahih dan sharih (jelas) dari Nabi yang menunjukkan bahwa amalan tersebut benar-benar disyari’atkan dan dia harus menjauhi setiap amal yang tidak ada contohnya dari Nabi.

    Semua ini tidak akan mampu kita laksanakan kecuali dengan taufiq dari Allah, kemudian dengan jalan kita mempelajari agama ini dengan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran dan meninggalkan fanatik buta. Semoga Allah memudahkan kita dalam mewujudkan kecintaan kepada Allah dan RasulNya dan istiqamah di atas Islam ini.

    Untuk Tafsir ayat yang antum bawakan, berikut saya salinkan sebagian penjelasan Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah:

    قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

    Katakanlah : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [ali Imran : 31].

    Imam Ibnu Katsir rahimahullah (wafat th. 774 H) berkata,”Ayat ini sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak mau menempuh jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka orang tersebut dusta dalam pengakuannya, sampai dia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan dan perbuatannya. Sebagaimana terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

    مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

    Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.[2]

    Karena itu Allah berfirman “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosamu”. Kalian akan mendapatkan apa yang kalian minta, dari kecintaan kalian kepadaNya, yaitu kecintaan Allah kepada kalian, dan ini lebih besar daripada yang pertama, sebagaimana yang diucapkan oleh para ulama. Yang penting adalah, bukan bagaimana kalian mencintai, akan tetapi bagaimana kalian dicintai oleh Allah.

    Yang pertama kita mencintai Allah dan yang kedua Allah mencintai kita. Menurut al Hafizh Ibnu Katsir, bahwa Allah mencintai kita itulah yang paling besar, bagaimana supaya kita bisa dicintai oleh Allah. Setiap kita bisa mencintai, namun tidak setiap kita bisa dicintai. Syarat untuk dapat dicintai oleh Allah adalah dengan ittiba` kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    Imam Hasan Basri dan ulama salaf lainnya mengatakan, sebagian manusia mengatakan mencintai Allah, maka Allah menguji mereka dengan ayat ini. Orang-orang munafik mengucapkan cinta kepada Allah dan RasulNya, namun hatinya tidak demikian, karena mereka tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Tafsir Ibnu Katsir, I/384, Cet. Daarus Salaam, Th. 1413 H].

    Selengkapnya, silakan baca di sini. Barakallahu fiikum.

      Abu Umayyah said:
      Juni 16, 2016 pukul 2:59 pm

      ” kalau kosong kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, Demi Allah Ragukan apa yang dia katakan.

      SODAKTA.

    karma said:
    Maret 24, 2012 pukul 9:25 am

    Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

    ( HUJURAAT AYAT 11 )

      karma said:
      Maret 24, 2012 pukul 9:32 am

      Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
      ( Hujuraat ayat 12 )

      Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal
      ( hujuraat ayat 13 )

      Antum, Anda Boleh merasa benar, tapi jangan mudah menuduh orang lain tidak benar.
      karena anda nanti benar manakala sudah sampai kepada kebenaran sejati,
      Dan itu hanya terjadi jikalau anda telah mengetahuiNYa, menyadariNYA dan merasakanNYa.

      Hebatnya lagi, setelah sampai disana, anda justru tidak lagi membutuhkan klaim. karena kebenaran tidak butuh kepada apapun dan siapapun.

      Abu Umamah responded:
      Maret 26, 2012 pukul 7:55 am

      Jika kebenaran itu seperti yang Anda katakan, maka tidak ada gunanya Dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- padahal beliau adalah hujjah. Demikian pula dakwah yang dilakukan oleh para Shahabat -radhiyallahu ‘anhum- dan para Ulama kaum muslimin dari masa ke masa. Sebab dakwah mereka adalah satu menyampaikan kebenaran dan menolak kebatilan dengan segala syubhatnya. Menyampaikan kebeneran bahwa yang berhak untuk diibadahi hanyalah Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Bahwa Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah benar-benar utusan Allah, yang tidak boleh bagi siapapun untuk menyelisihi jalannya.

      Setiap orang yang memiliki keyakinan/aqidah pasti menganggap aqidahnya adalah yang benar, sedangkan selainnya adalah salah, sedangkan Allah telah menetapkan bahwa kebenaran itu mutlak ada pada Allah dan RasulNya. Inilah kebenaran sejati yang tidak akan berselisih dua orang dari kaum muslimin padanya. Bahwa Allah dan RasulNya itulah yang haq/benar, setiap yang menyelisihinya mutlak salah.

      Maka kebenaran adalah apa yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

      Sekarang tinggal kita melihat kepada Orang yang mengklaim bahwa dirinya berada di atas kebenaran, apakah klaimnya itu berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Assunnah ataukah tidak, jika sesuai maka kita terima jika menyelisihi maka kita katakan dia salah dan kita jelaskan letak kesalahannya dan kita tunjukkan dia kepada kebenaran. Wallahu a’lam.

    anwar said:
    Mei 16, 2012 pukul 7:11 am

    payah, dalilnya tidak tepat

    anwar said:
    Mei 16, 2012 pukul 7:20 am

    seolah cinta pada Rosulullah, tapi jalan untuk mencintainya dihujjat, dijegal. Menyalahkan dan mendebat yang orang lakukan , tapi cara terjemah dalil saja salah, bagaimana bisa penafsirannya benar, pantas saja orang-orang seperti anda kalu diundang bertukar pendapat oleh para ulama kami sering menolak karena keseringan kalah telak.

    noviyani said:
    Juli 12, 2012 pukul 6:30 pm

    Maaf numpang tanya wong deso,,,Bidah itu apa sih…? katanya sdra wahabi sesuatu yg baru dlm ibadah yg tdk dikerjakan Sayidina Muhamad SAW tak ada pengecualian baik maupun buruk sesat msk neraka trus knapa ente kita semua umat muslim baca kitab alquran kan kitab Alquran skrg trmasuk bidah krna gk ada dijmn nabi di jilid dibukuin.trus bedug apa bedanya dgn pengeras suara?kan sama sama bidah?kenapa walisanga n ulama terdahulu yg ikhlas berjuang di nusantara hingga menjadi mayoritas sprti skrg ini bs org tua kita anut hingga ke diri kita yg jelas mengislamkan org kafir bkan ulama wahabi yg justru gemar mengkafirkan org islam mana yg jdi panutan????coba tebak buktinya Allah lebih Ridho kepada siapa? bahkan tokoh Suni Ahlusunah Sayid Habib Muhamad bin Alwi almaliki pembela maulid yg difitnah penganjur bidah ahli sesat kata ulama wahabi kok jenasahnya utuh brtahun tahun sampai kini bahkan tercium aroma wangi dri kuburnya sewaktu di gali yg ingin dihinakan wahabi lewat tgn kekuasaan penguasa saudi tp wahabi yg kecele jenasahnya utuh krna Allah SWT yg memuliakannya..harusnya kita merenung hanya Allah yg berhak menilai atau memvonis hambanya mana yg syirik menyekutukannya krna Dia yg mengetahui urusan hati dlm tauhid hambanya bukan WAHABIYAH

    Abaabdullah said:
    Agustus 31, 2012 pukul 2:52 pm

    Jazakallahu khairan wa barakallahu fik akh abu umamah

    rifqi said:
    Juni 11, 2013 pukul 10:53 pm

    Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad wa ala aliy Sayyidina Muhammad. Mari kita lanjutkan maulid, sholawat, tahlil, dan amalan ahlu sunnah wal jama’ah lainnya

      Abu Umamah responded:
      Juni 12, 2013 pukul 10:05 am

      Amalan ahlusunnah wal jama’ah? Siapakah ahlussunnah wal jama’ah itu?

      Tidak ada perselisihan diantara kita bahwa para Shahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mereka adalah ahlussunnah wal jama’ah bahkan merekalah ahlussunnah yang pertama yang kita diperintahkan untuk mengikuti jejak langkah mereka.

      Tapi tidak pernah dinukil satu pun riwayat dari mereka bahwa mereka mengamalkan amalan-amalan semisal maulid, sholawatan, tahlilan, dst…

      Cinta Nabi itu bukan dengan memebuat-buat amalan yang tidak beliau perintahkan, Cinta Nabi itu dengan mengikuti apa yang beliau perintahkan

Tinggalkan komentar