Kritik Prof. Djalal TanjungTerhadap Isu Pemanasan Global

Posted on

global-warming-2

Isu mengenai fenomena pemanasan global (global warming) semakin mencuat akhir-akhir ini. Hampir semua negara yang ada di muka bumi ini menjadikan isu tersebut sebagai kepentingan bersama. Sebagai penghuni planet bumi, semua negara merasakan bahwa dampak pemanasan global bisa menimpa siapa saja.

Isu besar itupun kemudian berkembang dalam isu-isu yang lebih mendetil seperti permasalahan kebijakan negara, penebangan hutan, polusi udara, dan hal-hal lain yang dianggap sebagai pemicu semakin panasnya suhu bumi yang berujung pada perubahan iklim (climate change). Namun terkadang ada kesalahan ilmiah yang diusung oleh isu mengenai global warming tersebut dan hal itulah yang kemudian dikritik oleh Prof. Dr. Shalihuddin Djalal Tandjung, guru besar ekologi dan ilmu lingkungan Universitas Gadjah Mada.

Menurut Prof. Djalal, ada kekeliruan besar yang dimunculkan oleh isu pemanasan global yang menyalahkan proses penebangan hutan yang dilakukan oleh negara-negara sedang berkembang. Dalam menjelaskan pemanasan global, beliau berpijak mula pada logika penjelasan ilmiah, bahwasanya pemanasan global disebabkan oleh ketidakseimbangan atmosfer (atmosferic inbalance), akibat terlalu banyak kadar karbon dioksida (CO2). Persoalannya kemudian adalah siapa yang harus bertanggung jawab terhadap banyaknya karbon dioksida di atmosfer?

Polutan terbesar di dunia tentunya adalah negara maju dengan pabrik-pabrik industrinya, namun mengapa kesalahan justru banyak ditimpakan kepada Negara-negara sedang berkembang yang sedang mendayagunakan hutannya untuk kegiatan ekonomi?

Di sinilah letak kritik tajam dari Prof. Djalal. “Syarat sebuah bentang lahan mengabsorbsi semua CO2 adalah apabila di kawasan tersebut ada 30 persen hutan dan kebetulan sekali kalau ternyata negara-negara industri maju ternyata hanya memiliki kawasan hutan tidak lebih dari 21 persen,” begitu penuturannya.

Prof Djalal melanjutkan bahwa rata-rata kawasan hutan di planet ini sekitar 60 persen karena adanya tiga negara yang memiliki jumlah kawasan hutan yang lebih dari 75 persen, yakni Kongo di benua Afrika, Brazil di benua Amerika, dan Indonesia di Asia dan ketiga negara itu bukanlah negara industri. Negara-negara industri maju telah lama merusak hutan mereka sendiri dan mengabaikan keseimbangan atmosfer di kawasan teritorial yang menjadi tanggung jawab mereka.

Ketika negara-negara berkembang seperti Indonesia mencoba mendayagunakan hasil hutan untuk kegiatan perekonomian, negara industri maju justru berteriak-teriak dan menganggap negara sedang berkembang melakukan proses pemanasan global tanpa negara industri itu bercermin terhadap apa yang telah mereka lakukan terhadap hutan di wilayah kedaulatannya. “Jadi pernyataan yang mengungkapkan bahwa global warming saat ini disebabkan oleh kerusakan hutan tropis (di negara berkembang) itu adalah bohong, malah mereka (negara industri) lebih dulu merusak hutannya!” ujarnya dengan mantap.

Isu lain yang juga menjadi sorotan Prof Djalal adalah mengenai kebakaran hutan Indonesia yang dinilai masyarakat internasional sebagai salah satu penyebab utama global warming. Baginya, kebakaran hutan merupakan fenomena yang alamiah, kecuali yang disebabkan ulah manusia. “Saya tidak menutup mata adanya unsur kesengajaan dalam beberapa kebakaran hutan, namun kalaupun ada kebakaran hutan di Indonesia, CO2 nya akan langsung terserap oleh pepohonan di sekitarnya, karena hutan kita sangat luas!” Menurutnya, pepohonan memiliki kemampuan aktif dalam menyerap CO2 yang ada di alam, karena bagaimanapun juga, pepohonan membutuhkan CO2 sebagai bahan baku fotosintesis.

Lebih lanjut Prof. Djalal mengatakan bahwa fenomena penebangan hutan untuk penanaman kebun kelapa sawit adalah hal yang normal dan bukan sebagai bagian deforestasi. “ Sebagai ilmuwan, saya sepakat bahwa kelapa sawit menyerap CO2 tidak sebanyak tumbuhan lain namun bukan berarti penebangan hutan untuk kebun kelapa sawit adalah proses deforestasi karena kelapa sawit tetap merupakan bagian dari tumbuhan (yang membutuhkan CO2 untuk fotosintesis).” Namun begitu, dia tidak sepakat jika hasil perkebunan kelapa sawit justru dijadikan bahan baku konversi energy menjadi biodiesel karena baginya kelapa sawit adalah makanan (food) dan bukan bahan baku energi pembakaran. <rul>

SUMBER ; http://kagama.ugm.ac.id/download.php

dari : kaahil.wordpress.com

Tinggalkan komentar